BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
meningkat setiap tahunnya rata-rata sebesar 6% (BPS 2008). Sementara jumlah
penduduk meningkat rata-rata1,15% per tahun. Seiring denganmeningkatnya jumlah
penduduk yangdiikuti dengan kenaikan pertumbuhanekonomi Indonesia, maka
diperkirakankebutuhan konsumsi akan proteinhewani, khususnya yang bersumberdari
daging sapi juga akan meningkat (Ditjennak,
2011).
Berdasarkan
definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh
tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi lain yang digunakan untuk
pengobatan. Makanan merupakan salah satu bagian yang penting untuk kesehatan
manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-penyakit yang
diakibatkan oleh makanan. Kasus penyakit bawaan makanan (foodborne disease) dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, kebiasaan
mengolah makanan secara tradisional, penyimpanan dan penyajian yang tidak
bersih, dan tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Daging sapi merupakan produkpangan asal
hewan yang bersifatmudah rusak (perishable) danmerupakan media
untukberkembangnya mikroba, yangdiakibatkan karena kandungan gizinyayang
lengkap dan sangat digemari olehmikroorganisme baik pathogen(menyebabkan sakit)
maupunpembusuk. Jumlah mikroba yangmelebihi ambang batas normal
dapatmembahayakan kesehatan manusia.Oleh karena itu, untuk mengetahuiadanya
residu dan cemaran mikrobapada produk hewan perlu dilakukanpengawasan melalui
pemeriksaan danpengujian, sehingga dapat ditetapkansuatu kebijakan untuk
mencegahterjadinya residu dan cemaran mikrobapada produk hewan (Ditjennak, 2011).
Sebagai
bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan kimia.
Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia ditimbulkan oleh
adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, dan bahaya fisik
disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat
terjadi selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan
hingga cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.
Berdasarkan
hal di atas maka dalam pembahasan makalah ini akan membahas
gambaran tentang system keamanan pangan daging sapi melalui proses penangann
daging.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas
dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : “ Bagaimana gambaran
sistem keamanan pangan daging dan proses penanganan
daging sapi?”
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui gambaran system
keamanan daging dan proses penanganan daging sapi.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Daging Sapi
Daging sapi (Bahasa
Inggris: beef) adalah jaringan otot yang diperoleh
dari sapi yang biasa
dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap daerah,
penggunaan daging
ini berbeda-beda tergantung dari cara pengolahannya. Sebagai contoh has luar, daging iga dan T-Bone sangat umum
digunakan di Eropa
dan di Amerika Serikat sebagai bahan pembuatan steak sehingga bagian
sapi ini sangat banyak diperdagangkan. Akan tetapi seperti di Indonesia dan
di berbagai negara Asia
lainnya daging ini banyak digunakan untuk makanan berbumbu dan bersantan
seperti sup
konro dan rendang.
Selain itu ada
beberapa bagian daging sapi lain seperti lidah, hati, hidung, jeroan
dan buntut
hanya digunakan di berbagai negara tertentu sebagai bahan dasar makanan.
2.1.1
Kadar Air pada Daging Sapi
Air
dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen, di samping
ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air
bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi
penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara
tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler
dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam
sistem dispersi. Air yang diikat dalam daging dapat dibagi dalam tiga komponen,
yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein daging sebesar 4 – 5% yang
merupakan lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air yang terikat
agak lemah dari molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4%.
Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat di antara molekul-molekul
protein yang memiliki jumlah terbanyak. Kadar air dalam daging berkisar antara
60–70% dan apabila bahan (daging) mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi atau
tidak terlalu rendah yaitu antara kisaran 15 – 50% maka bahan (daging) tersebut
dapat tahan lama selama penyimpanan (Prabu, 2009).
2.1.2
pH Daging Sapi
Pada
hewan potong, pH daging sesudah disembelih berkisar antara 6.7 – 8. Pada daging
sapi dalam waktu 25 jam sesudah dipotong terjadi penurunan pH hingga 5.6 – 5.8
di dalam semua otot-otot (Resang, 1982). Buckle et al (1985) menyatakan
bahwa pH rendah berada sekitar 5.1 – 6.1 menyebabkan daging mempunyai struktur
terbuka, sedangkan pH tinggiberada sekitar 6.2 – 7.2 menyebabkan daging pada
tahap akhir akan mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih
memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme. Pemberian istirahat yang cukup
pada ternak sebelum dipotong atau pemberian gula dalam pakan atau air minum
dapat membangun glikogen urat daging, dapat memberikan pH akhir yang lebih
rendah sehingga daya simpannya meningkat. Selanjutnya Soeparno
(1994) menambahkan bahwa untuk produk awetan daging kering seperti
dendeng yang mempunyai kadar air 15 – 20% pH-nya berkisar antara 4.5 – 5.1. Soputan (2000) menyatakan nilai pH dendeng sapi
giling lebih tinggi dari nilai pH dendeng daging sapi iris. Lebih tingginya
nilai pH dendeng daging sapi giling disebabkan pengaruh pencampuran bumbu yang
lebih sempurna pada daging sapi giling. Selanjutnya dinyatakan lamanya waktu
penyimpanan pada suhu kamar menaikkan pH dendeng daging sapi. Naiknya nilai pH
dendeng selama periode penyimpanan pada suhu kamar karena air yang terikat pada
protein sudah mulai keluar sehingga jumlah air bebasnya meningkat yang berarti
kondisi daging menjadi alkalis dan pH-nya naik (Soputan, 2000)
2.1.3
Nilai Gizi pada Daging Sapi
Menurut
Lawrie (1991) Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biologicalvalue)
yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zatnon protein
dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992).Komposisi
daging menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5%lemak dan
3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisikimia daging
terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini
akan
berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein
serta meningkatkan persentase lemak.
Daging merupakan sumber utama untuk
mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot
segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi
mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada
daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging.
Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70oC akan mengalami
pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160oC
akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga
sedikit mengurangi kadar asamamino.
Kandungan
lemak pada daging menentukan kualitas daging karenalemak menentukan cita rasa
dan aroma daging. Keragaman yang nyata pada komposisi lemak terdapat antara
jenis ternak memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya
hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Lawrie (1991) menyatakan lemak sapi kaya
akan asamstearat, asam palmitat dan asam oleat.
Komposisi Kimia Retail Cuts
Jenis daging Karkas
|
Kadar (persen)
|
Kilokalori
(per 100 gram)
|
||
Protein
|
Air
|
Lemak
|
||
Chuck
|
18,6
|
65
|
16
|
220
|
Flank
|
19,9
|
61
|
18
|
250
|
Loin
|
16,7
|
57
|
25
|
290
|
Rib
|
17,4
|
59
|
23
|
280
|
Round
|
19,5
|
69
|
11
|
160
|
Rump
|
16,2
|
55
|
28
|
320
|
Sumber: (Diana, 2011)
Komposis Daging Tanpa
Lemak dan Berlemak
Komposisi
(%)
|
Daging
tanpa lemak
|
Daging
berlemak
|
Air
|
70
|
62
|
Protein
|
20
|
17
|
Lemak
|
9
|
20
|
Sumber: (Diana, 2011)
Komposisi Asam Amino
dalam Daging
Jenis
asam amino esensial
|
Kadar
(%)
|
Jenis
asam amino non esensial
|
Kadar
(%)
|
Arginin
|
6,9
|
Alanin
|
6,4
|
Histidin
|
2,9
|
Asam aspartat
|
8,8
|
Isoleusin
|
5,1
|
Sistin
|
1,4
|
Leusin
|
8,4
|
Asam glutamat
|
14,4
|
Lisin
|
8,4
|
Glisin
|
7,1
|
Metionin
|
2,3
|
Prolin
|
5,4
|
Phenilalanin
|
4,0
|
Serin
|
3,8
|
Theronin
|
4,0
|
Tirosin
|
3,2
|
Thripthopan
|
1,1
|
|
|
Valin
|
5,7
|
|
|
Sumber: (Diana, 2011)
2.1.4 Mikroba Daging Sapi
Menurut Frazier
(1997), mikroorganisme yang terdapat dalam daging adalah khamir (yeast),
jamur benang (mold), dan bakteri yang dapat merugikan atau membahayakan
manusia yang mengkonsumsinya. Mikroorganisme yang merusak daging berdasarkan
dari ternak hidup yang terinfeksi dan terkontaminasi. Awal kontaminasi pada
daging berasal dari mikroroganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan
jika alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan darah tidak steril. Pembusukan daging disebabkan antara lain
adanya penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri yang menghasilkan
gas dan bau busuk. Kerusakan bahan pangan dapat disertai dengan perubahan
komposisi. Proses dekomposisi daging dimulai setelah hewan mati.
Jaringan-jaringan tersebut tidak begitu tahan lama terhadap kegiatan
mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kerusakan daging. Jamur dan bakteri
dapat menguraikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi komponen yang lebih
sederhana. Daging mulai membusuk apabila koloni bakteri sudah mencapai jumlah
lebih dari 5 x 106 koloni bakteri per gram. Daging sapi bagian paha dalam
keadaan segar mempunyai jumlah koloni bakteri log x sama dengan 5.98. Total
jamur untuk bahan pangan tidak boleh lebih dari 104 – 107, selebihnya tidak
memenuhi syarat. Setiap mikroba mempunyai suhu maksimal, optimal, dan juga
minimal untuk pertumbuhannya. Suhu ketika suatu bahan makanan disimpan sangat
besar pengaruhnya terhadap jenis mikroba yang dapat tumbuh serta kecepatannya
untuk pertumbuhan. Jamur dapat tumbuh pada suhu 25 – 37 0C dan di
atas 37 0C. (Anonim, 2011).
2.2
Keamanan Daging Sapi
Beberapa
indikator dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu pangan tidak aman.
Tanda – tanda yang mudah ditemukan antara lain berbau busuk atau tengik,
terdapat kotoran berupa kerikil, potongan kayu atau kaca atau terdapat
belatung. Namun, masih ada bahan – bahan lain yang tidak kasat mata yang dapat
menyebabkan pangan berbahaya bagi kesehatan, yaitu mikroorganisme misalnya
virus atau bakteri serta racun yang dihasilkannya, yang mungkin terdapat pada
sayuran, susu, kacang tanah, daging, ikan, dan lain-lain (Mukono, 2000).
Kelompok
mikroorganisme yang menyebabkan bahaya tersebut biasa disebut patogen. Bahan
lain yang juga berbahaya bagi kesehatan adalah pewarna, pengawet, dan bahan
tambahan lain dari jenis yang tidak diperuntukkan untuk pangan seperti
formalin. Bahan tambahan dari jenis yang aman yang digolongkan sebagai bahan
tambahan pangan juga dapat mengganggu kesehatan, apabila digunakan sembarangan
dan dengan takaran yang tidak sesuai (Mukono, 2000).
Saat ini masih
banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang belum memenuhi
ketentuan GHP. Proses penirisan darah yang kurang sempurna saat penyembelihan
sehingga warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar mikroba yang
menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di rumah
potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah ataupun akibat
tercemar dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk
karena sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi)
mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada
kulit atau permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses
penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses
penyembelihan tidak memenuhi syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan
penyakit sangat besar.
Sebagai bahan pangan,
daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan kimia. Bahaya biologi
disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia ditimbulkan oleh adanya cemaran
residu antibiotik, hormon, pestisida; dan bahaya fisik disebabkan oleh cemaran
logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi selama proses
pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga cutting dan
proses pengolahan menjadi produk olahan.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh
mikroba. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir
yang biasanya terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan
atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging . Kerusakan mikroba
pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda
sebagai berikut:
-
Pembentukan
lendir
-
Perubahan
warna
-
Perubahan
bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa
berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain.
-
Perubahan
rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentukan asam dan senyawa
pahit
-
Terjadi
ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Distanikhut, 2009).
2.2.1 Syarat dan Perlakuan Pada Ternak
Sapi Sebelum Disembelih
Salah satu tujuan menyembelih/memotong
ternak sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah untuk mendapatkan daging
sapi yang memnuhi persyaratan dengan kualitas daging yang dihasilkan baik
(Abrianto, 2011).
Ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum penyembelihan agar kualitas daging
yang dihasilkan baik antara lain (Abrianto,2011) :
1.
Sanitasi
Sanitasi
pada RPH harus terjamin dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah merancang fasilitas RPH yang mudah dibersihkan. Sarana utama yang harus
menjadi perhatian adalah kandang penampungan. Karena ditempat inilah
kontaminasi bakteri pathogen umumnya terjadi.
Selain
itu, kebersihan tubuh ternak juga perlu diperhatikan karena kulit merupakan
sumber utama bagi kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan
pengeluaran isi dalam ternak. Kulit termasuk bulu-bulu merupakan pembawa
bermacam mikroorganisme khususnya Escherichia
coli, Clostridium perfiringers, Staphylococcus aureus dan Streptocoques fecaux yang bisa berasal
dari bahan feses maupun dari tanah dan air. Kontaminasi bakteri pada karkas
dapat terjadi melalui bantuan udara dan kondensasi akibat perbedaan antar
temperatur ternak dengan temperatur runagan pemotongan pada saat pengulitan
ternak. Kontaminasi juga dapat terjadi akibat kontak anatara tangan pekerja
dengan bulu-bulu pada kulit dengan karkas.
2.
Keadaan Fisiologis
a.
Pengaruh pakan sebelum
pemotongan
Komposisi
ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :
·
Mikroflora pada saluran
pencernaan. Pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian atau gandum yang
diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan menurunkan jumlah
bakteri Coli aerogen dan Euterobaceteri pada usus halus.
b.
Pengaruh pengangkutan
sebelum pemotongan
Pengangkutan
ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejunlah agresi psikis dan
fisik luka-luka akibat pukulan tongkat atau tendangan kaki diantara
sapi, luka yang diakbiatkan gesekan pada lantai kendaraan, perkelahian
antara sapi pada umur dan jenis kelamin yang berbeda, kesulitan metabolime
sirkulasi, terutama bila sapi memperoleh pakan yang berarti sebelum
pengangkutan. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap kualitas
saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya terjadi
pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehtan yang sempurna selama
beberapa jam setelah ternak disembelih. Namun ternak yang disembelih dalam
keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah
yang sangat sering tidak sempurna. Stress yang sangat berarti selama
pengangkutan akan meningkatkan infeksi salmonella pada ternak khusunya pada
babi.
3.
Pengaruh waktu
istirahat sebelum pemotongan
Kontaminasi
pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat sebelum pemotongan. Untuk
itu tempat istirahat tersebut perlu scara teratur dibersihkan dan disinfektan.
Tingkat
kontaminasi meningkat dengan meningkatnya jumlah salmonella pada tanah dan
waktu istirahat yang lebih lama. Kontaminasi yang rendah pada tempat istirahat
mengakibatkan kontaminasi salmonella pada 40-60% ternak (dalam feses) sesudah
tujuh hari istirahat. Sedang pada kontaminasi tanah yang tinggi (105
Salmonella/gram, tanah) mengakibatkan kontaminasi pada 90-100% ternak yang
dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 istirahat dan seterusnya akan semaikn meningkat
jumlahnya.
Dalam
hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya
ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan
ternak di tempat penampungan atau tempat isitirahat di RPH sebelum pemotongan
dilaksanakan. Di beberapa negara waktu istirahat berlangsung selama 24 jam,
dimaksudkan selain untuk istirahat juga untuk mengosongkan saluran pencernaan.
Istirahat diatas delapan jam dan tidak melebihi 12 jam merupakan kondisi yang
baik untuk memulihkan kelelahan ternak yang timbul selama pengangkutan.
Istirahat diatsa 12 jam memperlihatkan kecenderungan pH akhir meningkat
kembali, ini disebabkan karena selama itu ternak tidak mendapat makan akibatnya
ternak kembali mengalami stres dan kelaparan. Selain itu, ternak yang
diistirahatkan lebih dari 24 jam, perlu diberikan pakan berupa rumput atau hay
berkualitas tinggi dan air minum untuk menurunkan pH akhir otot.
2.3 Penanganan Pasca
Panen/ Sembelih
2.3.1
Penyimpanan Daging Sapi
Daging sangat memenuhi
syarat untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan mikroorgansime, karena mempunyai
kadar air atau kelembaban yang tinggi, adanya oksigen, tingkat keasaman dan
kebasaan (pH) serta kandungan nutrisi yang tinggi. Karena itu daging sangat
mudah mengalami kerusakan apabila disimpan pada suhu kamar. sel-sel yang terdapat
dalam daging mentah masih terus mengalami proses kehidupan, sehingga di
dalamnya masih terjadi reaksi-reaksi metabolisme. Kecepatan proses metabolisme
tersebut sangat tergantung pada suhu penyimpanan. Semakin rendah suhu semakin
lambat proses tersebut berlangsung dan semakin lama daging dapat disimpan. Di
samping itu suhu penyimpanan yang rendah juga menghambat pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat pada permukaan daging.daging
segar atau mentah tanpa pendinginan yang disimpan pada suhu kamar (27 0C)
hanya dapat bertahan selama 25 jam dan lebih dari itu sudah menunjukkan adanya
pembusukan pada daging tersebut. Daging segar dalam suhu kamar hanya mampu
bertahan 1 – 2 hari. Oleh karena itu bila masih ingin disimpan selama 1 minggu maka
daging tersebut harus diolah untuk menghasilkan berbagai bentuk baru atau
dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet kimia. Dengan demikian
proses kerusakan dapat dihambat dan usia simpan dapat diperpanjang melalui
penyimpanan yang sesuai untuk daging olahan, seperti dendeng daging sapi, agar
kualitasnya dapat dipertahankan pada penyimpanan suhu kamar. (Anonim, 2011)
Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 7 prinsip higiene dan sanitasi makanan.
Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang banyak
(untuk katering dan jasa boga) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan
tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik menurut higiene
dan sanitasi makanan adalah sebagai berikut
(Prabu, 2009) :
a.
Suhu
penyimpanan yang baik
Setiap bahan makanan mempunyai
spesifikasi dalam penyimpanan tergantung kepada besar dan banyaknya makanan dan
tempat penyimpanannya. Sebagian besar dapat dikelompokkan menjadi:
1. Makanan
jenis daging, ikan, udang dan olahannya
§
Menyimpan sampai 3 hari
: -50 sampai 00 C
§
Penyimpanan untuk 1
minggu : -190 sampai -50 C
§
Penyimpanan lebih dari
1minggu : dibawah -100 C
2. Makanan jenis telor, susu dan olahannya
§
Penyimpanan
sampai 3 hari : -50 sampai 70 C
§
Penyimpanan
untuk 1 minggu : dibawah -50 C
§
Penyimpanan
paling lama untuk 1 minggu : dibawah -50 C
§
Makanan
jenis sayuran dan minuman dengan waktu penyimpanan paling lama 1 minggu yaitu 70
sampai 100 C
3. Tepung, biji-bijian dan umbi kering pada suhu kamar (250C).
b.
Tata cara Penyimpanan
Peralatan penyimpanan
a) Penyimpanan
suhu rendah dapat berupa:
·
Lemari
pendingin yang mampu mencapai suhu 100 – 150 C untu
penyimpanan sayuran, minuman dan buah serta untuk display penjualan makanan da
minuman dingin.
·
Lemari es (kulkas) yang mampu mencapai suhu 10
- 40 C dalam keadaanisi bisa digunakan untuk minuma, makanan siap santap
dan telor.
·
Lemari
es (Freezer) yang dapat mencapai suhu -50 C, dapat
digunakan untuk penyimpanan daging, unggas, ikan, dengan waktu tidak lebih dari
3 hari.
·
Kamar
beku yang merupakan ruangan khusus untuk menyimpan makanan beku (frozen
food) dengan suhu mencapai -200 C untuk menyimpan daging dan
makanan beku dalam jangka waktu lama.
b) Penyimpanan suhu kamar
Untuk makanan kering dan makanan
terolahan yang disimpan dalam suhu kamar, maka rang penyimpanan harus diatur
sebagai berikut:
·
Makanan
diletakkan dalam rak-rak yang tidak menempel pada dinding, lantai dan
langit-langit, maksudnya adalah:
o Untuk sirkulasi udara agar udara segar dapatsegera masuk
keseluruh ruangan
o Mencegah kemungkinan jamahan dan tempat persembunyian
tikus
o Untuk memudahkan pembersihan lantai
o Untuk mempermudah dilakukan stok opname
·
Setiap
makanan ditempatkan dalam kelompoknya dan tidak bercampur baur
·
Untuk
bahan yang mudah tercecer seperti gula pasir, tepung, ditempatkan dalam wadah
penampungan sehigga tidak mengotori lantai
c.
Cara Penyimpanan
1.Setiap bahan
makanan yan disimpan diatur ketebalannya, maksudnya agar suhu dapat merata
keselutuh bagian
2. Setiap bahan makanan ditempatkan secara terpisah menurut
jenisnya, dalam wadah (container) masing-masing. Wadah dapat berupa bak,
kantong plastik atau lemari yang berbeda.
3. Makanan disimpan didalam ruangan penyimpanan sedemikian
hingga terjadi sirkulasi udara dengan baik agar suhu merata keseluruh bagian.
Pengisian lemari yang terlalu padat akan mengurangi manfaat penyimpanan karena
suhunya tidak sesuai dengan kebutuhan.
4. Penyimpanan didalam lemari es:
a) Bahan mentah harus terpisah dari makanan siap santap
b) Makanan yang
berbau tajam harus ditutup dalam kantong plastik yang rapat dan dipisahkan dari
makanan lain, kalau mungin dalam lemari yang berbeda, kalau tidak letaknya
harus berjauhan.
c) Makanan yang
disimpan tidak lebih dari 2 atau 3 hari harus sudah dipergunakan.
d) Lemari tidak boleh terlalu sering dibuka, maka dianjurkn
lemari untuk keperluan sehari-hari dipisahkan dengan lemari untuk keperluan
penyimpanan makanan
2.3.2 Pengawetan Daging
Pengawetan daging bertujuan untuk memper panjang masa simpannya sampai sebelum dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih),
pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10°C, freezer suhu<0°C), pengawetan secara biologi melibatkan
proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia.
Pengawetan secara kimia dibedakan
menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan
kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain
menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit
sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan memiliki daya
antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia
seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium
laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat),
gula pasir dan lain-lain dan lain-lain.Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan
dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya
mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.(Anonim,
2011).
a.
Pengawetan daging dengan pemanasan
a.
Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah
suhu didih untuk membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat
hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu:
1)
Pasteurisasi
lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang tidak
tinggi (620-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).
2)
Pasteurisasi
singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada
suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2
menit).
3)
Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT).
Pemanasan pada suhu tinggi dan segera didinginkan pada suhu 10°C.
b. Sterilisasi adalah proses
pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di atas titik didih,
sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara :
1)
UHT yaitu pemanasan
sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.
2)
Produk dalam kemasan
hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama 20-45 detik.
b.
Pengawetan
dengn bahan kimia
1. Bahan aktif
alamiah
1)
Bawang
putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk antimikroba.
2)
Kunyit,
kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat
bakterisidal.
3)
Lengkuas,
senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
4)
Jahe,
senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak.
5)
Bakteriosin,
merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi oleh
bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks
protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa
secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamsme, 1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin
sebagai biopreservatif pangan harus memenuhi kriteria seperti pengawet atau
bahan tambahan pangan lainnya antara lain aman bagi konsumen, memiliki
aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri gram positif dalam sistem
makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem makanan, dan ekonomis.
2. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan
penambahan bahan kimia pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP)
dalam produk olahan daging. Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila
mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek
negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung
senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya.
Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan
tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988
tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah:
-
Garam
NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan
jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
-
Sodium
tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk
olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan
disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2
hari. Penggunaan STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
-
Gula
pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3%
atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
-
Sodium
nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan
pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm,
kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan
senyawa karsinogen nitrosamin.
-
Sodium
laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan
sodium laktat adalah 2,9%
-
Sodium
asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah
penggunaan maksimum 0,25%.
-
Sendawa
(kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan
digunakan dengan konsentrasi 0,1%.
-
Beberapa
bahan kimia yang tidak dapat digunakan (dilarang) digunakan sebagai bahan pengawet
antara lain formalin, asam borat, asam salisilat, kalium klorat, kloramfenikol,
formalin, dan lain-lain. Bahan pengawet yang dilarang namun sering dijumpai
dalam produk makanan diantaranya adalah formalin
dan boraks.
a. Ciri daging dan produk daging
berformalin dan bahayanya
Formalin adalah cairan (dalam suhu ruang)
yang tidak berwarna, bau menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol,
digunakan sebagai pengawet jaringan, desinfektan, pembasmi serangga, industri
tekstil dan kayu lapis. Produk yang biasa menggunakan formalin:
-
Bakso:
kenyal, awet pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari.
-
Daging
ayam: berwarna putih bersih dan tidak mudah busuk atau awet dalam beberapa
hari.
Deteksi makanan berformalin: tidak ada
lalat yang mau hinggap. Jika kadar formalinnya banyak, daging ayam agak sedikit
tegang (kaku) dan jika daging ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji
laboratorium, muncul gelembung gas. Perlu curiga bila harga produk sangat murah
dan tidak wajar. Bahaya formalin: mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar,
sakit menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit
perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kerusakan
hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal,
kejang, tidak sadar hingga koma dan kematian, menyebabkan kanker karena
formalin bersifat karsinogenik.
Pertolongan yang dapat dilakukan jika
keracunan formalin (tertelan) adalah segera hubungi dokter atau dibawa ke rumah
sakit.
b. Ciri makanan mengandung boraks dan
bahayanya
Boraks adalah serbuk kristal putih, tidak berbau, larut
dalam air, tidak larut alkohol, pH 9,5. Boraks biasa dipakai untuk pengawet
kayu, antispetik dan pengontrol kecoa.
Produk bakso menjadi lebih kenyal, bila
digigit/ditekan akan kembali ke bentuk semula, tahan lama/awet beberapa hari,
warna lebih putih, bau tidak alami (ada bau lain yang muncul) dan bila
dilemparkan ke lantai akan memantul.
Deteksi makanan mengandung boraks hampir
sama seperti formalin walaupun cukup sulit menentukannya namun dengan uji
laboratotium akan dapat dibuktikan dengan jelas.
Bahaya boraks antara lain merusak kulit, selaput lendir (merah),
gangguan pencernaan/usus, muntah, diare, depresi susunan syaraf pusat, bahkan
menyebabkan kanker
2.4 Cara Mengenali Daging Sapi yang Baik
Semakin marak kasus beredarnya
daging berformalin, daging gelonggongan, ayam tiren di pasar local akhir-akhir
ini maka perlu adanya petunjuk praktis cara mengenali daging yang sehat untuk
dikonsumsi dan memenuhi standart daging ASUH ( Aman, Sehat, Utuh dan Halal ).
Kriteria Kualitas Daging
Kualitas daging dipengaruhi oleh
beberapa factor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah
dipotong.Faktor penentu kualitas daging pada waktu hewan hidup adalah cara
pemeliharaan, yang meliputi : pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan
perawatan kesehatan.Kualitas daging juga dipengaruhi oleh pengeluaran darah
pada waktu hewan dipotong dan kontaminasi sesudah hewan dipotong.(Disnak, Jatim, 2008).
2.4.1 Kualitas
Daging yang Baik
Kriteria yang dipakai sebagai
pedoman untuk menentukan kualitas daging yang layak konsumsi adalah :
- Keempukan
daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan
susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan
semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki
konsistensi kenyal.
- Kandungan
lemak ( marbling ) adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot (
intramuscular ). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan
mempertahankan keutuhan daging pada wkatu dipanaskan. Marbling berpengaruh
terhadap cita rasa.
- Warna
daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetic dan usia,
misalkan daging sapi potong lebih gelap daripada daging sapi perah, daging
sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa.
Rasa dan Aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap. - Kelembaban : Secara normal
daging mempunyai permukaan yang relative kering sehingga dapat menahan
pertumbuhan mikroorganisme dari luar. Dengan demikian mempengaruhi daya
simpan daging tersebut.(Disnak, Jatim, 2008).
2.4.2 Kriteria Daging Yang Tidak Baik
Bau dan rasa tidak normal akan
segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya
kelainan sebagai berikut (Disnak, Jatim, 2008) :
- Hewan
sakit terutama yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam yang
akan menghasilkan daging berbau seperti mentega tengik.
- Hewan dalam pengobatan terutama dengan pengobatan
antibiotic akan menghasilkan daging yang berbau obat – obatan.
- Warna daging tidak normal tidak selalu
membahayakan kesehatan, namun akan mengurangi selera konsumen.
- Konsistensi daging tidak normal yang ditandai
kekenyalan daging rendah ( jika ditekan dengan jari akan terasa lunak )
dapat mengindikasikan daging tidak sehat, apaila disertai dengan perubahan
warna yang tidak normal maka daging tersebut tidak layak dikonsumsi.
- Daging
busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen karena menyebabkan gangguan
saluran pencernaan. Pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang
baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk
meningkat, atau karena terlalu lama dibiarkan ditempat terbuka dalam waktu
relative lama pada suhu kamar, sehingga terjadi proses pemecahan protein
oleh enzim – enzim dalam daging yang menghasilkan amoniak dan asam sulfida.