Jumat, 06 Desember 2013

PENANGANAN DAGING SAPI PASCA PANEN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat setiap tahunnya rata-rata sebesar 6% (BPS 2008). Sementara jumlah penduduk meningkat rata-rata1,15% per tahun. Seiring denganmeningkatnya jumlah penduduk yangdiikuti dengan kenaikan pertumbuhanekonomi Indonesia, maka diperkirakankebutuhan konsumsi akan proteinhewani, khususnya yang bersumberdari daging sapi juga akan meningkat (Ditjennak, 2011).
Berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Makanan merupakan salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Kasus penyakit bawaan makanan (foodborne disease) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, kebiasaan mengolah makanan secara tradisional, penyimpanan dan penyajian yang tidak bersih, dan tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Daging sapi merupakan produkpangan asal hewan yang bersifatmudah rusak (perishable) danmerupakan media untukberkembangnya mikroba, yangdiakibatkan karena kandungan gizinyayang lengkap dan sangat digemari olehmikroorganisme baik pathogen(menyebabkan sakit) maupunpembusuk. Jumlah mikroba yangmelebihi ambang batas normal dapatmembahayakan kesehatan manusia.Oleh karena itu, untuk mengetahuiadanya residu dan cemaran mikrobapada produk hewan perlu dilakukanpengawasan melalui pemeriksaan danpengujian, sehingga dapat ditetapkansuatu kebijakan untuk mencegahterjadinya residu dan cemaran mikrobapada produk hewan (Ditjennak, 2011).
Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan kimia. Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, dan bahaya fisik disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.
Berdasarkan hal di atas maka dalam pembahasan makalah ini akan membahas gambaran tentang system keamanan pangan daging sapi melalui proses penangann daging.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : “ Bagaimana gambaran sistem keamanan pangan daging dan proses penanganan daging sapi?”
 1.2      Tujuan
Untuk mengetahui gambaran system keamanan daging dan proses penanganan daging sapi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1        Gambaran Umum Daging Sapi
            Daging sapi (Bahasa Inggris: beef) adalah jaringan otot yang diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap daerah, penggunaan daging ini berbeda-beda tergantung dari cara pengolahannya. Sebagai contoh has luar, daging iga dan T-Bone sangat umum digunakan di Eropa dan di Amerika Serikat sebagai bahan pembuatan steak sehingga bagian sapi ini sangat banyak diperdagangkan. Akan tetapi seperti di Indonesia dan di berbagai negara Asia lainnya daging ini banyak digunakan untuk makanan berbumbu dan bersantan seperti sup konro dan rendang.
Selain itu ada beberapa bagian daging sapi lain seperti lidah, hati, hidung, jeroan dan buntut hanya digunakan di berbagai negara tertentu sebagai bahan dasar makanan.
2.1.1 Kadar Air pada Daging Sapi
            Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen, di samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam sistem dispersi. Air yang diikat dalam daging dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein daging sebesar 4 – 5% yang merupakan lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air yang terikat agak lemah dari molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4%. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat di antara molekul-molekul protein yang memiliki jumlah terbanyak. Kadar air dalam daging berkisar antara 60–70% dan apabila bahan (daging) mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah yaitu antara kisaran 15 – 50% maka bahan (daging) tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan (Prabu, 2009).
2.1.2 pH Daging Sapi
     Pada hewan potong, pH daging sesudah disembelih berkisar antara 6.7 – 8. Pada daging sapi dalam waktu 25 jam sesudah dipotong terjadi penurunan pH hingga 5.6 – 5.8 di dalam semua otot-otot (Resang, 1982). Buckle et al (1985) menyatakan bahwa pH rendah berada sekitar 5.1 – 6.1 menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka, sedangkan pH tinggiberada sekitar 6.2 – 7.2 menyebabkan daging pada tahap akhir akan mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme. Pemberian istirahat yang cukup pada ternak sebelum dipotong atau pemberian gula dalam pakan atau air minum dapat membangun glikogen urat daging, dapat memberikan pH akhir yang lebih rendah sehingga daya simpannya meningkat. Selanjutnya Soeparno (1994) menambahkan bahwa untuk produk awetan daging kering seperti dendeng yang mempunyai kadar air 15 – 20% pH-nya berkisar antara 4.5 – 5.1. Soputan (2000) menyatakan nilai pH dendeng sapi giling lebih tinggi dari nilai pH dendeng daging sapi iris. Lebih tingginya nilai pH dendeng daging sapi giling disebabkan pengaruh pencampuran bumbu yang lebih sempurna pada daging sapi giling. Selanjutnya dinyatakan lamanya waktu penyimpanan pada suhu kamar menaikkan pH dendeng daging sapi. Naiknya nilai pH dendeng selama periode penyimpanan pada suhu kamar karena air yang terikat pada protein sudah mulai keluar sehingga jumlah air bebasnya meningkat yang berarti kondisi daging menjadi alkalis dan pH-nya naik (Soputan, 2000)
2.1.3 Nilai Gizi pada Daging Sapi
            Menurut Lawrie (1991) Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biologicalvalue) yang tinggi, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zatnon protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Forrest et al. 1992).Komposisi daging menurut Lawrie (1991) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5%lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisikimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini
akan berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak.
Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70oC akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160oC akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asamamino.
Kandungan lemak pada daging menentukan kualitas daging karenalemak menentukan cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang nyata pada komposisi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya hidrogenasi oleh mikroorganisme rumen. Lawrie (1991) menyatakan lemak sapi kaya akan asamstearat, asam palmitat dan asam oleat.
Komposisi Kimia Retail Cuts
Jenis daging Karkas
Kadar (persen)
Kilokalori
(per 100 gram)
Protein
Air
Lemak
Chuck
18,6
65
16
220
Flank
19,9
61
18
250
Loin
16,7
57
25
290
Rib
17,4
59
23
280
Round
19,5
69
11
160
Rump
16,2
55
28
320
Sumber: (Diana, 2011)
                        Komposis Daging Tanpa Lemak dan Berlemak
Komposisi (%)
Daging tanpa lemak
Daging berlemak
Air
70
62
Protein
20
17
Lemak
9
20
            Sumber: (Diana, 2011)

                        Komposisi Asam Amino dalam Daging
Jenis asam amino esensial
Kadar
(%)
Jenis asam amino non esensial
Kadar
(%)
Arginin
6,9
Alanin
6,4
Histidin
2,9
Asam aspartat
8,8
Isoleusin
5,1
Sistin
1,4
Leusin
8,4
Asam glutamat
14,4
Lisin
8,4
Glisin
7,1
Metionin
2,3
Prolin
5,4
Phenilalanin
4,0
Serin
3,8
Theronin
4,0
Tirosin
3,2
Thripthopan
1,1


Valin
5,7


            Sumber: (Diana, 2011)

2.1.4  Mikroba Daging Sapi
Menurut Frazier (1997), mikroorganisme yang terdapat dalam daging adalah khamir (yeast), jamur benang (mold), dan bakteri yang dapat merugikan atau membahayakan manusia yang mengkonsumsinya. Mikroorganisme yang merusak daging berdasarkan dari ternak hidup yang terinfeksi dan terkontaminasi. Awal kontaminasi pada daging berasal dari mikroroganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan jika alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan darah tidak steril.  Pembusukan daging disebabkan antara lain adanya penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri yang menghasilkan gas dan bau busuk. Kerusakan bahan pangan dapat disertai dengan perubahan komposisi. Proses dekomposisi daging dimulai setelah hewan mati. Jaringan-jaringan tersebut tidak begitu tahan lama terhadap kegiatan mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kerusakan daging. Jamur dan bakteri dapat menguraikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi komponen yang lebih sederhana. Daging mulai membusuk apabila koloni bakteri sudah mencapai jumlah lebih dari 5 x 106 koloni bakteri per gram. Daging sapi bagian paha dalam keadaan segar mempunyai jumlah koloni bakteri log x sama dengan 5.98. Total jamur untuk bahan pangan tidak boleh lebih dari 104 – 107, selebihnya tidak memenuhi syarat. Setiap mikroba mempunyai suhu maksimal, optimal, dan juga minimal untuk pertumbuhannya. Suhu ketika suatu bahan makanan disimpan sangat besar pengaruhnya terhadap jenis mikroba yang dapat tumbuh serta kecepatannya untuk pertumbuhan. Jamur dapat tumbuh pada suhu 25 – 37 0C dan di atas 37 0C. (Anonim, 2011).
2.2 Keamanan Daging Sapi
            Beberapa indikator dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu pangan tidak aman. Tanda – tanda yang mudah ditemukan antara lain berbau busuk atau tengik, terdapat kotoran berupa kerikil, potongan kayu atau kaca atau terdapat belatung. Namun, masih ada bahan – bahan lain yang tidak kasat mata yang dapat menyebabkan pangan berbahaya bagi kesehatan, yaitu mikroorganisme misalnya virus atau bakteri serta racun yang dihasilkannya, yang mungkin terdapat pada sayuran, susu, kacang tanah, daging, ikan, dan lain-lain (Mukono, 2000).
Kelompok mikroorganisme yang menyebabkan bahaya tersebut biasa disebut patogen. Bahan lain yang juga berbahaya bagi kesehatan adalah pewarna, pengawet, dan bahan tambahan lain dari jenis yang tidak diperuntukkan untuk pangan seperti formalin. Bahan tambahan dari jenis yang aman yang digolongkan sebagai bahan tambahan pangan juga dapat mengganggu kesehatan, apabila digunakan sembarangan dan dengan takaran yang tidak sesuai (Mukono, 2000).
Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang belum memenuhi ketentuan GHP. Proses penirisan darah yang kurang sempurna saat penyembelihan sehingga warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah ataupun akibat tercemar dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar.
Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan kimia. Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida; dan bahaya fisik disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir  yang  biasanya terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging . Kerusakan mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut:
-          Pembentukan lendir
-          Perubahan warna
-          Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain.
-          Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentukan asam dan senyawa pahit
-          Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Distanikhut, 2009).
2.2.1 Syarat dan Perlakuan Pada Ternak Sapi Sebelum Disembelih
Salah satu tujuan menyembelih/memotong ternak sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah untuk mendapatkan daging sapi yang memnuhi persyaratan dengan kualitas daging yang dihasilkan baik (Abrianto, 2011).
            Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum penyembelihan agar kualitas daging yang dihasilkan baik antara lain (Abrianto,2011) :
1.         Sanitasi
Sanitasi pada RPH harus terjamin dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah merancang fasilitas RPH yang mudah dibersihkan. Sarana utama yang harus menjadi perhatian adalah kandang penampungan. Karena ditempat inilah kontaminasi bakteri pathogen umumnya terjadi.
Selain itu, kebersihan tubuh ternak juga perlu diperhatikan karena kulit merupakan sumber utama bagi kontaminasi bakteri pada karkas selama proses pemotongan dan pengeluaran isi dalam ternak. Kulit termasuk bulu-bulu merupakan pembawa bermacam mikroorganisme khususnya Escherichia coli, Clostridium perfiringers, Staphylococcus aureus dan Streptocoques fecaux yang bisa berasal dari bahan feses maupun dari tanah dan air. Kontaminasi bakteri pada karkas dapat terjadi melalui bantuan udara dan kondensasi akibat perbedaan antar temperatur ternak dengan temperatur runagan pemotongan pada saat pengulitan ternak. Kontaminasi juga dapat terjadi akibat kontak anatara tangan pekerja dengan bulu-bulu pada kulit dengan karkas.
2.         Keadaan Fisiologis
a.         Pengaruh pakan sebelum pemotongan
Komposisi ransum memperlihatkan pengaruh terhadap :
·           Mikroflora pada saluran pencernaan. Pemberian ransum basal terdiri dari biji-bijian atau gandum yang diperkaya vitamin dan mineral selama beberapa minggu akan menurunkan jumlah bakteri Coli aerogen dan Euterobaceteri pada usus halus.
b.         Pengaruh pengangkutan sebelum pemotongan
Pengangkutan ternak ke rumah potong hewan (RPH) mengakibatkan sejunlah agresi psikis dan fisik luka-luka akibat pukulan tongkat atau tendangan  kaki diantara  sapi, luka yang diakbiatkan gesekan pada lantai kendaraan, perkelahian antara sapi pada umur dan jenis kelamin yang berbeda, kesulitan metabolime sirkulasi, terutama bila sapi memperoleh pakan yang berarti sebelum pengangkutan. Sejumlah agresi ini akan memberikan konsekuensi terhadap kualitas saniter pada daging. Akibatnya sifat-sifat bakteriside pada darah hanya terjadi pada ternak-ternak yang dipotong dalam kondisi kesehtan yang sempurna selama beberapa jam setelah ternak disembelih. Namun ternak yang disembelih dalam keadaan darurat, karena luka atau kecapaian, mengakibatkan pengeluaran darah yang sangat sering tidak sempurna. Stress yang sangat berarti selama pengangkutan akan meningkatkan infeksi salmonella pada ternak khusunya pada babi.
3.         Pengaruh waktu istirahat sebelum pemotongan
Kontaminasi pada karkas dapat terjadi melalui tempat istirahat sebelum pemotongan. Untuk itu tempat istirahat tersebut perlu scara teratur dibersihkan dan disinfektan.
Tingkat kontaminasi meningkat dengan meningkatnya jumlah salmonella pada tanah dan waktu istirahat yang lebih lama. Kontaminasi yang rendah pada tempat istirahat mengakibatkan kontaminasi salmonella pada 40-60% ternak (dalam feses) sesudah tujuh hari istirahat. Sedang pada kontaminasi tanah yang tinggi (105 Salmonella/gram, tanah) mengakibatkan kontaminasi pada 90-100% ternak yang dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 istirahat dan seterusnya akan semaikn meningkat jumlahnya.
Dalam hal ini meminimalkan terjadinya luka memar dan menghindari terjadinya ketegangan sejak ternak diangkut dari peternakan sampai pada saat menurunkan ternak di tempat penampungan atau tempat isitirahat di RPH sebelum pemotongan dilaksanakan. Di beberapa negara waktu istirahat berlangsung selama 24 jam, dimaksudkan selain untuk istirahat juga untuk mengosongkan saluran pencernaan. Istirahat diatas delapan jam dan tidak melebihi 12 jam merupakan kondisi yang baik untuk memulihkan kelelahan ternak yang timbul selama pengangkutan. Istirahat diatsa 12 jam memperlihatkan kecenderungan pH akhir meningkat kembali, ini disebabkan karena selama itu ternak tidak mendapat makan akibatnya ternak kembali mengalami stres dan kelaparan. Selain itu, ternak yang diistirahatkan lebih dari 24 jam, perlu diberikan pakan berupa rumput atau hay berkualitas tinggi dan air minum untuk menurunkan pH akhir otot.
2.3 Penanganan Pasca Panen/ Sembelih
2.3.1 Penyimpanan Daging Sapi
            Daging sangat memenuhi syarat untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan mikroorgansime, karena mempunyai kadar air atau kelembaban yang tinggi, adanya oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH) serta kandungan nutrisi yang tinggi. Karena itu daging sangat mudah mengalami kerusakan apabila disimpan pada suhu kamar. sel-sel yang terdapat dalam daging mentah masih terus mengalami proses kehidupan, sehingga di dalamnya masih terjadi reaksi-reaksi metabolisme. Kecepatan proses metabolisme tersebut sangat tergantung pada suhu penyimpanan. Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut berlangsung dan semakin lama daging dapat disimpan. Di samping itu suhu penyimpanan yang rendah juga menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat pada permukaan daging.daging segar atau mentah tanpa pendinginan yang disimpan pada suhu kamar (27 0C) hanya dapat bertahan selama 25 jam dan lebih dari itu sudah menunjukkan adanya pembusukan pada daging tersebut. Daging segar dalam suhu kamar hanya mampu bertahan 1 – 2 hari. Oleh karena itu bila masih ingin disimpan selama 1 minggu maka daging tersebut harus diolah untuk menghasilkan berbagai bentuk baru atau dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet kimia. Dengan demikian proses kerusakan dapat dihambat dan usia simpan dapat diperpanjang melalui penyimpanan yang sesuai untuk daging olahan, seperti dendeng daging sapi, agar kualitasnya dapat dipertahankan pada penyimpanan suhu kamar. (Anonim, 2011)
Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 7 prinsip higiene dan sanitasi makanan. Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang banyak (untuk katering dan jasa boga) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik menurut higiene dan sanitasi makanan adalah sebagai berikut (Prabu, 2009) :
a.        Suhu penyimpanan yang baik
Setiap bahan makanan mempunyai spesifikasi dalam penyimpanan tergantung kepada besar dan banyaknya makanan dan tempat penyimpanannya. Sebagian besar dapat dikelompokkan menjadi:
1.    Makanan jenis daging, ikan, udang dan olahannya
§  Menyimpan sampai 3 hari : -50 sampai 00 C
§  Penyimpanan untuk 1 minggu : -190 sampai -50 C
§  Penyimpanan lebih dari 1minggu : dibawah -100 C
2.    Makanan jenis telor, susu dan olahannya
§  Penyimpanan sampai 3 hari : -50 sampai 70 C
§  Penyimpanan untuk 1 minggu : dibawah -50 C
§  Penyimpanan paling lama untuk 1 minggu : dibawah -50 C
§  Makanan jenis sayuran dan minuman dengan waktu penyimpanan paling lama 1 minggu yaitu 70 sampai 100 C
3.    Tepung, biji-bijian dan umbi kering pada suhu kamar (250C).

b.   Tata cara Penyimpanan
Peralatan penyimpanan
a)    Penyimpanan suhu rendah dapat berupa:
·      Lemari pendingin yang mampu mencapai suhu 100 – 150 C untu penyimpanan sayuran, minuman dan buah serta untuk display penjualan makanan da minuman dingin.
·       Lemari es (kulkas) yang mampu mencapai suhu 10 - 40 C dalam keadaanisi bisa  digunakan untuk minuma, makanan siap santap dan telor.
·      Lemari es (Freezer) yang dapat mencapai suhu -50 C, dapat digunakan untuk penyimpanan daging, unggas, ikan, dengan waktu tidak lebih dari 3 hari.
·      Kamar beku yang merupakan ruangan khusus untuk menyimpan makanan beku (frozen food) dengan suhu mencapai -200 C untuk menyimpan daging dan makanan beku dalam jangka waktu lama.
b)   Penyimpanan suhu kamar
     Untuk makanan kering dan makanan terolahan yang disimpan dalam suhu kamar, maka rang penyimpanan harus diatur sebagai berikut:
·      Makanan diletakkan dalam rak-rak yang tidak menempel pada dinding, lantai dan langit-langit, maksudnya adalah:
o  Untuk sirkulasi udara agar udara segar dapatsegera masuk keseluruh ruangan
o  Mencegah kemungkinan jamahan dan tempat persembunyian tikus
o  Untuk memudahkan pembersihan lantai
o  Untuk mempermudah dilakukan stok opname
·      Setiap makanan ditempatkan dalam kelompoknya dan tidak bercampur baur
·      Untuk bahan yang mudah tercecer seperti gula pasir, tepung, ditempatkan dalam wadah penampungan sehigga tidak mengotori lantai
c.    Cara Penyimpanan
1.Setiap bahan makanan yan disimpan diatur ketebalannya, maksudnya agar suhu dapat merata keselutuh bagian
2.    Setiap bahan makanan ditempatkan secara terpisah menurut jenisnya, dalam wadah (container) masing-masing. Wadah dapat berupa bak, kantong plastik atau lemari yang berbeda.
3.    Makanan disimpan didalam ruangan penyimpanan sedemikian hingga terjadi sirkulasi udara dengan baik agar suhu merata keseluruh bagian. Pengisian lemari yang terlalu padat akan mengurangi manfaat penyimpanan karena suhunya tidak sesuai dengan kebutuhan.
4.    Penyimpanan didalam lemari es:
a)    Bahan mentah harus terpisah dari makanan siap santap
b)    Makanan yang berbau tajam harus ditutup dalam kantong plastik yang rapat dan dipisahkan dari makanan lain, kalau mungin dalam lemari yang berbeda, kalau tidak letaknya harus berjauhan.
c)     Makanan yang disimpan tidak lebih dari 2 atau 3 hari harus sudah dipergunakan.
d)   Lemari tidak boleh terlalu sering dibuka, maka dianjurkn lemari untuk keperluan sehari-hari dipisahkan dengan lemari untuk keperluan penyimpanan makanan
2.3.2 Pengawetan Daging
Pengawetan daging bertujuan untuk memper panjang masa simpannya sampai sebelum dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan  3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu 4-10°C, freezer suhu<0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia.
Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit, sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), gula pasir dan lain-lain dan lain-lain.Dengan jumlah penggunaan yang tepat, pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.(Anonim, 2011).
a.        Pengawetan daging dengan pemanasan
a.    Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara pasteurisasi yaitu:
1)        Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu yang tidak tinggi (620-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).
2)        Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2 menit).
3)         Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan segera didinginkan pada suhu 10°C.
b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan dengan cara :
1)        UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.
2)        Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama 20-45 detik.
b.    Pengawetan dengn bahan kimia
1. Bahan aktif alamiah
1)        Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk antimikroba.
2)        Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat bakterisidal.
3)        Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
4)        Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan minyak dan lemak.
5)        Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi oleh bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamsme, 1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata dalam sistem makanan, dan ekonomis.
2. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging. Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya.
Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah:
-          Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
-          Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
-          Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
-          Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm, kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.
-          Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum penggunaan sodium laktat adalah 2,9%
-          Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan jumlah penggunaan maksimum 0,25%.
-          Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.
-          Beberapa bahan kimia yang tidak dapat digunakan (dilarang) digunakan sebagai bahan pengawet antara lain formalin, asam borat, asam salisilat, kalium klorat, kloramfenikol, formalin, dan lain-lain. Bahan pengawet yang dilarang namun sering dijumpai dalam produk makanan diantaranya adalah formalin dan boraks.
a. Ciri daging dan produk daging berformalin dan bahayanya
Formalin adalah cairan (dalam suhu ruang) yang tidak berwarna, bau menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol, digunakan sebagai pengawet jaringan, desinfektan, pembasmi serangga, industri tekstil dan kayu lapis. Produk yang biasa menggunakan formalin:
-          Bakso: kenyal, awet pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari.
-          Daging ayam: berwarna putih bersih dan tidak mudah busuk atau awet dalam beberapa hari.
Deteksi makanan berformalin: tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar formalinnya banyak, daging ayam agak sedikit tegang (kaku) dan jika daging ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, muncul gelembung gas. Perlu curiga bila harga produk sangat murah dan tidak wajar. Bahaya formalin: mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal, kejang, tidak sadar hingga koma dan kematian, menyebabkan kanker karena formalin bersifat karsinogenik.
Pertolongan yang dapat dilakukan jika keracunan formalin (tertelan) adalah segera hubungi dokter atau dibawa ke rumah sakit.
b. Ciri makanan mengandung boraks dan bahayanya
Boraks adalah serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut alkohol, pH 9,5. Boraks biasa dipakai untuk pengawet kayu, antispetik dan pengontrol kecoa.
Produk bakso menjadi lebih kenyal, bila digigit/ditekan akan kembali ke bentuk semula, tahan lama/awet beberapa hari, warna lebih putih, bau tidak alami (ada bau lain yang muncul) dan bila dilemparkan ke lantai akan memantul.
Deteksi makanan mengandung boraks hampir sama seperti formalin walaupun cukup sulit menentukannya namun dengan uji laboratotium akan dapat dibuktikan dengan jelas.
Bahaya boraks antara lain merusak kulit, selaput lendir (merah), gangguan pencernaan/usus, muntah, diare, depresi susunan syaraf pusat, bahkan menyebabkan kanker
2.4  Cara Mengenali Daging Sapi yang Baik
Semakin marak kasus beredarnya daging berformalin, daging gelonggongan, ayam tiren di pasar local akhir-akhir ini maka perlu adanya petunjuk praktis cara mengenali daging yang sehat untuk dikonsumsi dan memenuhi standart daging ASUH ( Aman, Sehat, Utuh dan Halal ).
Kriteria Kualitas Daging
Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa factor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong.Faktor penentu kualitas daging pada waktu hewan hidup adalah cara pemeliharaan, yang meliputi : pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan.Kualitas daging juga dipengaruhi oleh pengeluaran darah pada waktu hewan dipotong dan kontaminasi sesudah hewan dipotong.(Disnak, Jatim, 2008).
2.4.1 Kualitas Daging yang Baik
Kriteria yang dipakai sebagai pedoman untuk menentukan kualitas daging yang layak konsumsi adalah :
  • Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan susunan jaringan ikat semakin banyak sehingga daging yang dihasilkan semakin liat. Jika ditekan dengan jari daging yang sehat akan memiliki konsistensi kenyal.
  • Kandungan lemak ( marbling ) adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot ( intramuscular ). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada wkatu dipanaskan. Marbling berpengaruh terhadap cita rasa.
  • Warna daging bervariasi tergantung dari jenis hewan secara genetic dan usia, misalkan daging sapi potong lebih gelap daripada daging sapi perah, daging sapi muda lebih pucat daripada daging sapi dewasa.
    Rasa dan Aroma dipengaruhi oleh jenis pakan. Daging berkualitas baik mempunyai rasa gurih dan aroma yang sedap.
  • Kelembaban : Secara normal daging mempunyai permukaan yang relative kering sehingga dapat menahan pertumbuhan mikroorganisme dari luar. Dengan demikian mempengaruhi daya simpan daging tersebut.(Disnak, Jatim, 2008).
2.4.2  Kriteria Daging Yang Tidak Baik
Bau dan rasa tidak normal akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan sebagai berikut (Disnak, Jatim, 2008) :

  • Hewan sakit terutama yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam yang akan menghasilkan daging berbau seperti mentega tengik.
  • Hewan dalam pengobatan terutama dengan pengobatan antibiotic akan menghasilkan daging yang berbau obat – obatan.
  • Warna daging tidak normal tidak selalu membahayakan kesehatan, namun akan mengurangi selera konsumen.
  • Konsistensi daging tidak normal yang ditandai kekenyalan daging rendah ( jika ditekan dengan jari akan terasa lunak ) dapat mengindikasikan daging tidak sehat, apaila disertai dengan perubahan warna yang tidak normal maka daging tersebut tidak layak dikonsumsi.
  • Daging busuk dapat mengganggu kesehatan konsumen karena menyebabkan gangguan saluran pencernaan. Pembusukan dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik pada waktu pendinginan, sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat, atau karena terlalu lama dibiarkan ditempat terbuka dalam waktu relative lama pada suhu kamar, sehingga terjadi proses pemecahan protein oleh enzim – enzim dalam daging yang menghasilkan amoniak dan asam sulfida.